2009/01/16

Seni Rupa Instalasi

Pengertian Seni Rupa Instalasi
Sejarah dan Perkembangan Seni Rupa Instalasi di Barat
Membicarakan Seni Rupa Instalasi memang agak memutar otak, dikarenakan tak adanya batasan khusus dalam ruang lingkupnya maka dimungkinkan adanya pembaharuan berkesinambungan dan memberi kebebasan yang luas pada seniman dalam berkreatifitas untuk mengolah seni rupa ini. Namun dengan mencari awal mula munculnya Seni Rupa Instalasi, kita dapat menganalisa secara jelas apa itu pengertian dari Seni Rupa Instalasi.
Sebenarnya embrio Seni Rupa Instalasi sudah mulai muncul sejak tahun 1916, masa itu ditandai dengan munculnya gerakan “Dada” di Jerman dan Perancis. Gerakan tersebut dimotori seniman yang berasal dari Perancis, yang dengan berani seniman tersebut memanfaatkan sebuah benda jadi “Urinal” (tempat kencing), yang di pasang terbalik dan ditandai dengan nama samaran R. Mutt , dengan judul “Fountain”. Sesuai dengan pendapat yang diungkapkan Amy Dempsey dalam bukunya Styles, Schools And Movements bahwa:
Munculnya gerakan “Dada” di Jerman dan Perancis, dengan salah satu motor penggerak adalah seniman dari Perancis yaitu Marcel Duchamp yang mendemonstrasikan seni dapat dibuat dari benda-benda yang paling biasa, sebagai sindiran tentang berbudaya dan berkesenian masyarakat golongan menengah (Bourgeoisie) yang ternyata adalah masyarakat yang juga ikut membidani Perang Dunia I. (Dempsey, 2002:115)

Dapat dikatakan bahwa karya Seni Rupa Instalasi bisa dibuat dari benda jadi, benda temuan sehari-hari dan bahkan susunan dari benda-benda pakai. Namun pada gerakan “Dada” istilah Seni Rupa Instalasi belum bisa dipakai dalam menyebutkan karya-karya jenis tersebut, disebabkan karena sesungguhnya nama “Instalasi” merupakan sebuah judul pameran salah seorang seniman kalangan Minimalis atau Minimal art, yaitu suatu corak modernisme yang berkembang pada akhir dekade 1960. Ciri seni rupa Minimal itu antara lain, karya struktural yang dikonstruksikan di ruang pameran, dimana penginstalan (perakitan) menjadi unsur utama dalam penyajian karya.
Dengan ditandai dengan seorang Minimalis pada tahun 1967 - 1968 yaitu pematung Robbert Morris memamerkan serangkaian karya patung geometri yang ditata dengan lembaran kain berwarna yang diberi judul “Instalation”, sebuah istilah yang sama sekali tidak menunjukkan suatu konsep apalagi media, yang mencerminkan pemujaan masyarakat Amerika dimasa itu, terhadap kemajuan teknologi yang berhasil menyikap misteri ruang angkasa dan membuktikkan kebenaran sejumlah teori ilmu pengetahuan. (Supangkat, 1993:25)
Ditambah lagi banyaknya peristiwa-peristiwa yang terjadi bersamaan dengan saat dunia dilanda kegelisahan akibat perang Vietnam, karya-karya perakitan (penginstalan) dari penggabungan antara ready-mades, asembeling, dan kolase bermunculan melalui karya-karya seni rupa pada gerakan “Pop Art” di Amerika, dengan tokohnya Robert Smithron, Richard Long, Andy Warhol dan lain-lain, yang membuat karya-karya pencerminan dari sikap tidak puas terhadap modernisme dan pemujaan terhadap budaya populer di Amerika. Sedangkan di Osaka dan Tokyo Jepang terjadi pula pemberontakan terhadap modern, yang dikenal dengan gerakan “Gutai” dengan tokohnya Kuniharu Akiyama, Toshi Ichiyanagai, dan Toru Takemitsu, yang mengusung karya seni rupa yang dicampur pertunjukan, seni rupa kejadian, dan film dokumenter amatir.
Dari berbagai peristiwa¬ yang terjadi dapat diambil kesimpulan bahwa setelah kalangan Minimalis muncul, gerakan-gerakan yang mengusung karya-karya perakitan (penginstalan) dari penggabungan antara ready-mades, asembeling, dan kolase semakin marak. Karya-karya jenis itu dianggap sebagai strategi budaya, mendobrak konvensi lama, dan merupakan karya yang multi bahasa ungkap.
Namun sekitar tahun 1970 istilah Instalasi baru mulai digunakan sebagai konsekuensi dalam menyebut karya-karya jenis penginstalan (perakitan). Meminjam pernyataan kritikus Rosalind Krauss dalam tulisan “Sculpture in the Expanded Field” (dalam Supangkat, 1999:08), mencatat bahwa istilah instalasi muncul pada perkembangan seni patung di awal 1970-an sebagai konskuensi menjelajahi unsur ruang yang lingkupnya tidak terbatas, sejumlah pematung mulai membuat patung di ruang-ruang politik dikenal sebagai “Specifik Site Structure” dan wujudnya merupakan instalasi.
Perkembangan Seni Rupa Instalasi di Indonesia
Seperti diutarakan di atas, perkembangan Seni Rupa Instalasi di Indonesia tidak lepas dari pengaruh barat, terlihat dari serangkaian peristiwa yang terjadi pada perkembangan seni rupa di Indonesia. Peristiwa-peristiwa tersebut sangat berpengaruh, perkembangan yang didengungkan para seniman muda sebagai sebuah penentangan terhadap pola pemikiran lama, dibawah naungan pikiran seniman tua. Memang pola pikir seniman muda sebagai agen intelektual yang kreatif, inovatif dan revolutif waktu itu sangat berpengaruh terhadap perkembangan dilingkup perubahan ideologi, kreatifitas, bahkan penciptaan dan perombakan berkesenian.
Hal itu dapat dilihat pada peristiwa protesnya para seniman muda yang terjadi pada saat pelaksanaan pameran Biennal II di Taman Ismail Marzuki Jakarta, saat pemberian penghargaan oleh Dewan Juri kepada karya lukis yang menampakkan kecenderungan dekoratif yang sering disebut peristiwa “Pernyataan Desember Hitam 1974”. Merujuk pendapat Supangkat yang menyebutkan bahwa:
“Peristiwa Desember Hitam 1974” adalah suatu protes yang dilakukan oleh Seniman muda pada pameran Biennal II di Taman Ismail Marzuki Jakarta, dengan pemberian penghargaan oleh Dewan Juri kepada karya lukis yang menampakkan kecenderungan dekoratif. Para pemrotes menganggap lukisan dekoratif yang tidak memperlihatkan aspek sosial-politik, sehingga pameran tersebut memperlihatkan kemapanan dan kemacetan seni lukis Indonesia. (1975 : 55)

Jika dipahami lebih dalam pendapat diatas bisa ditemukan bagaimana semangat seniman muda sebagai pemrotes sangat mendambakan pembaruan dan menolak konvensi lama yang dianggap mengekang dalam kreatifitas berkarya seni rupa. Sehingga akhirnya salah seorang tokoh kontroversial Muryoto Hartoyo bersama seniman muda yang lain, menggelar pameran dengan membuat konsep tandingan yang karyanya bertemakan “kecenderung main-main”. Kelompok tersebut menggelar seni lukis kolase di Yogyakarta, yang antara lain menggunakan tempelan celana dalam. Namun sayang konsep tandingan itu dianggap sebagai pengaruh asing yang buruk dan mengancam kenasionalisan, reaksi tersebut dianggap hanya coba-coba memperluas penentangan.
Yang paling menarik reaksi seniman (perupa) muda dalam mencoba mendobrak konvensi lama dan membuat pembaharuan dalam seni rupa Indonesia tidak berhenti sampai disitu, penentangan terus berlanjut dan semakin memperluas pola pikir yang non konvensional. Setahun kemudian pemberontakan seni berlanjut dengan mengusung sebuah gerakan dengan nama “Gerakan Seni Rupa Baru” yang berlangsung dari tahun 1975 sampai 1979. Gerakan ini memproklamirkan “seni rupa baru” yang tidak lagi didasari tradisi fine arts (seni lukis dan seni patung). Karya-karya yang dipamerkan oleh gerakan seni rupa baru cenderung seperti gerakan seni rupa di Barat, yaitu Instalasi, barang temuan, barang pakai atau barang jadi, asembeling dan kolase.
Salah satu pelopor “Gerakan seni Rupa Baru”, berpendapat bahwa “prinsip penentangan gerakan ini tidak hanya terbatas pada mengkritik kemapanan seni lukis dekoratif, tapi lebih mendasar yaitu menentang seluruh tradisi modernisme yang mendasari perkembangan seni rupa Indonesia tahun 1940 sampai 1960”. (FX. Harsono, 1992 : 46)
Perkembangan demi perkembangan semakin berlanjut sebagai wujud dari kemajuan pola berkarya, berpikir, dan berkreatifitas para seniman muda, sekitar tahun 1980-an tepatnya 1987 ditandai dengan diadakannya pameran yang berjudul “Pasar Raya Dunia Fantasi” di taman Ismail Marzuki yang memperlihatkan kecenderungan seni rupa yang dekat dengan kehidupan masyarakat. Menurut Yuliman karya angkatan 80-an ini semakin plural dengan bertemakan mengangkat isu seperti mempersoalkan HAM, praktek represif menggeser konsep identitas nasional menjadi identitas budaya. (Hasan, 2001 : 145 )
Sedangkan dalam buku Membongkar Seni Rupa yang ditulis oleh Susanto berpendapat bahwa:
“…setelah pameran inilah sekitar tahun 1989, Sanento Yuliman seorang kritikus seni menggunakan istilah Instalasi sebagai media mempromosikan ide tentang anti Universalisme yang didengungkan barat (mainstream)”. (2003:118)

Seiring dengan berkembangnya Seni Rupa Instalasi di Indonesia yang dipelopori oleh para seniman muda sebagai Agen of Change (pelaku perubahan), mengalami kendala-kendala dengan terjadinya suatu peristiwa “Boom Seni Lukis di Indonesia”, sehingga mau tidak mau situasi ini membawa seni lukis sebagai barang komodity. Seperti yang diutarakan Sanento Yuliman dalam tulisannya yang dimuat di majalah MATRA (Februari : 1992) menyatakankan bahwa seni rupa pada masa Boom Seni Lukis di Indonesia terjadi pemiskinan, pedusunan, pemingitan, dan pemusatan.
Tetapi di sisi lain Boom Seni Lukis di Indonesia juga membawa dampak positif, terutama munculnya galeri-galeri yang berbeda atau tidak sejalan dengan selera pasar, yang mengusung karya-karya seni eksperimental (seni rupa selain seni lukis dan seni patung).
Merujuk pendapat Irianto dalam tulisannya di Buletin Surat vol. 19 menyebutkan bahwa:
“Fenomena Galeri Cemeti (sekarang Rumah Seni Cemeti) tahun 1988, merupakan seni rupa yang tumbuh ditengah-tengah terjadinya peristiwa boom Seni Lukis, pada pertengahan dekade itu terlihat jauh dari pengamatan kritisi dan institusi seni rupa. Sehingga cenderung mencoba membuat ruang-ruang sendiri atau artist run space (artist inisiative) seperti tempat kos atau kontrakan, numpang di instansi pemerintah, swasta, dan berkarya di segala tempat, melalui kerjasama dengan bidang atau media di luar seni”. (2004 : 7)

Dekade inilah terlihat pergeseran dari paradigma seni pemberontakan tahun 1970-an kepada seni paska pemberontakan 1980-an dalam siklus seni rupa Indonesia. Pada perkembangan terakhir seni rupa tahun 1980-an, ditandai peristiwa besar pameran seni rupa era ’80 yaitu Biennale Seni Rupa Jakarta IX 1993. Yang memperlihatkan seni rupa paska pemberontakan itu tidak lagi menentang modernisme, tapi meninggalkannya. Seni rupa ini lebih dikenal pula sebagai seni rupa paska-modern. Setelah peristiwa besar tersebut seni rupa Indonesia tidak berbicara dalam lingkup di dalam negeri saja. Melainkan membuat terobosan dengan membawa seni rupa Indonesia kejaringan seni internasional.


aku sudah akan diajak pergi I (2006)

Paradigma Seni Rupa Instalasi
Sebuah Gerakan Strategi Budaya
Dilihat dari perkembangan Seni Rupa, maka yang dapat ditemukan adalah karya seni rupa sebagai bahasa ungkap yang lebih multi interpretasi. Dalam karya-karya seperti ini terlihat adanya tendensi cara pandang seni yang mempengaruhi para praktisi seni untuk tidak puas terhadap satu “bahasa ungkap” atau dengan satu teknik representasi seni. Seniman ingin lebih cenderung untuk mematerialkan idenya secara kongkrit, total dan kontekstual dimana batas antara bermain dan beropini menjadi transparan.
Dengan bahasa yang multi interpretasi itulah menunjukkan bahwa seni bukanlah sesuatu yang dapat diserap, ditangkap dan dimanifestasikan secara seragam dengan pandangan dan bahasa yang baku. Karena seni tidak bisa terlepas dari gejala-gejala IPOLEKSOSBUD yang tengah berkembang dalam masyakatnya, yang lebih menyerupai sebagai suatu realitas yang mempunyai sisi dan dimensi, sesuai dengan latar belakang masyarakatnya sendiri. Para seniman berkarya Seni Rupa Instalasi sebagai wujud penolakan dan penentangan terhadap gejolak sosial yang terjadi dinegaranya.
2.Mendobrak Konvensi Lama
Melihat kemunculannya Seni Rupa Instalasi di berbagai negara dengan berbagai latar belakang dan paradigma yang berbeda, mustahil dapat membangun sebuah pengertian yang tertutup tentang Instalasi. Pemahaman yang paling menonjol adalah Seni Rupa Instalasi yang berkaitan dengan wacana penentangan seni rupa modern yang meliputi seni lukis dan patung. Itu bisa dicermati dari karya-karya Seni Rupa Instalasi di barat, dan dinegara dunia ketiga yang lazim memusuhi media konvensional (lukis, patung, dan grafis) yang dilakukan oleh kaum seni rupa paska-modern.
Ini sejalan dengan berhasilnya terobosan ideologi-ideologi Pascamodern tengah marak terjadi saat itu. Sehingga pengkotaan seni yang statis atau kaku akhirnya ditinjau kembali karena memang fenomena yang berlangsung, telah keluar dari bingkai dan menembus kapling-kapling definisi yang telah terpola secara baku.
3.Maraknya Seni Rupa Lokal di Negara Ketiga
Dari peristiwa penolakan dan penentangan yang dilakukan oleh kaum paska-modern sangat berpengaruh dan telah mampu mendorong rasa kemandirian para praktisi seni rupa, pengamat seni rupa, kurator dan galeri alternatif di negara ketiga (diluar mainstream), untuk merayakan seni rupa lokal (Low Art) membuat karya seni rupa dengan media konvensional, dengan pemanfaatan kria dan craftman-ship serta material indigenous, kedalam karya yang berbasis Seni Rupa Instalasi.

Medium Seni Rupa Instalasi
Hal penting lain yang cukup signifikan dalam Karya Seni Rupa Instalasi adalah dimana proses berkarya merupakan kesatuan unit penilaian yang turut menentukan ukuran dan nilai seni. Unsur “peristiwa” atau tepatnya proses kejadian suatu peristiwa telah dianggap sebagai representasi sehingga di sini secara otomatis akan terjadi kontak antara objek dan penonton. Secara kebentukan Seni Rupa Instalasi masih merupakan sebuah seni yang mengalami banyak perkembangan, mulai dari ekspresi yang dilahirkan hingga pada tingkat praktisnya. Seperti penggunaan efek teknologi multimedia, gerakan-gerakan (kinetik), mesin, lampu (laser), musik (bunyi), tari (gerak) dan video sampai pada respon terhadap alam yang dibentuk dalam efek sebuah perakitan atau penginstalan.
Berikut medium seni rupa instalasi yang sedang berkembang baik di barat maupun di negara ketiga (selain barat):
Site specific Art (Site Work)
Dalam tulisan Agung Hujatmikajenong yang dimuat dalam harian Kompas (Minggu, 25 Juli 2004) menyebutkan bahwa “Site specific Art (Site Work) adalah seni rupa instalasi yang di tampilkan secara khusus melalui pemanfaatan dan penggunaan suatu tempat atau ruang dengan berbagai karakter yang spesifik”. Karya Seni Rupa Instalasi ini berkembang di Amerika sekitar tahun 1977 dengan tokohnya Richard Serra.
Video Installation
Video Installation adalah Seni Rupa Instalasi yang memanfaatkan televisi yang disusun menjadi sebuah patung dengan monitor yang banyak dengan berbagai bahasa tayang televisi yang spontan, tak ada sambungannya, menghibur. Dalam buku Style, School and Movements disebutkan bahwa Seni Rupa Instalasi semacam ini muncul pada tahun 1965 disaat negara Amerika dilanda “kegilaan” terhadap televisi. Dengan tokohnya seorang seniman dan musisi kebangsaan Korea yang lahir di Amerika yaitu Nam June Paik. (Dempsey, 2000 : 257)
Indigenouse Art
Indigenouse Art adalah Seni Rupa Instalasi yang mempergunakan potensi lingkungan alam semesta yang tumbuh disuatu tempat, baik dalam keadaan yang alamiah maupun berupa material mentah yang dapat diproses menjadi karya seni. Menurut Moelyono karya Seni Rupa jenis ini berkembang pertama kali di Asia khususnya di Filipina, yang melahirkan seniman seperti Junyee,dan Hermisanto. (2001 : 55-56)
Berikut masih membicarakan medium seni rupa instalasi yang sedang berkembang baik di barat maupun di negara ketiga (selain barat) antara lain:
Assemblage
Conceptual Art, Minimalis Art
Sound Art, Internet Art
Land Art, Earth Art dan Environmental Art


aku sudah akan diajak pergi II (2007)

2008/12/19

Desain plakat dan poster




Apa itu poster? Menurut wikipedia, definisi poster atau plakat adalah karya seni atau desain grafis yang memuat komposisi gambar dan huruf di atas kertas berukuran besar. Pengaplikasiannya dengan ditempel di dinding atau permukaan datar lainnya dengan sifat mencari perhatian mata sekuat mungkin. Karena itu poster biasanya dibuat dengan warna-warna kontras dan kuat.

Masih bingung dengan definisi di atas?? Hmmm…, kalau begitu ijinkan saya untuk sedikit memperjelasnya. Poster adalah karya seni (rupa) dua dimensi yang berfungsi untuk menyampaikan informasi atau pesan kepada khalayak (baca: masyarakat umum). Poster bisa dibuat dengan berbagai macam teknik yaitu:

1. Teknik Manual. Proses pembuatannya langsung dibuat dengan tangan. Dilukis atau ditulis langsung menggunakan alat tulis dan atau alat gambar seperti spidol. Poster ini bisa ditemukan misalnya di sekolah, kampus atau saat ada aksi (unjuk rasa).

2. Teknik silkscreen atau sablon. Teknik ini dipakai untuk mencetak poster dalam jumlah yang agak banyak. Misalnya 100-500 lembar.

3. Teknik cetak (printing). Teknik cetak dipakai jika dicetak dalam jumlah ribuan atau puluhan ribu. Contoh posternya yaitu poster rokok, poster event (konser musik, pameran komputer, dll).


Poster dibuat dalam ukuran agak besar. Sampai sejauh ini, saya belum mendapatkan kepastiannya yang dimaksud besar itu seberapa. Sebagai gambaran awal, supaya bisa disebut bahwa itu adalah “poster”, maka setidaknya ukuran minimalnya adalah A3 yaitu 297mm x 420mm. Kertas A3 sama dengan 2x ukuran A4 (kertas yang biasanya untuk ngeprint itu).

Jika ukuran media gambar tersebut terlalu besar maka bisa jadi tidak lagi disebut poster. Lebih tepatnya disebut baliho. “Baliho itu contohnya seperti gambar film yang mau diputar di bioskop itu lho…”. Saya akan bahas lebih dalam apa itu baliho pada kesempatan selanjutnya.

Meskipun ukuran poster besar, tapi poster juga belum tentu efektif untuk mengkomunikasikan sebuah pesan. Pendeknya, dalam merancang sebuah poster hendaknya scriptwrite atau tulisannya jangan banyak-banyak. Buat sesederhana mungkin tapi tetap menarik. Susah memang, tapi ini adalah tuntutannya. Maka, membuat poster itu tidaklah gampang seperti yang kita pikirkan karena kreativitas juga dituntut maksimal. Tips dari saya; desainer poster tidak ada salahnya kolaborasi ide dengan ilustrator atau fotografer supaya karya yang dihasilkan menjadi semakin menarik dan terkonsep.

Oke, lalu apa alasannya kok tulisan di atas poster tidak boleh terlalu banyak? Jika poster itu ditempelkan di tembok—pinggir jalan, maka yang memperhatikan poster tersebut adalah semua pemakai jalan. Siapa saja itu? Mereka adalah pejalan kaki dan pengguna kendaraan.

Apa hubungannya antara poster dan pengguna jalan? Kita harus tahu bahwa kemampuan otak seseorang untuk menangkap pesan poster hanya dalam hitungan detik. Maka disini tuntutannya (lagi-lagi) seorang desainer harus memahami ilmu psikologi komunikasi dan psikologi visual. Nah loh, makanan apa lagi itu?!
Saya mengamati perkembangan karya poster di Indonesia sudah cukup bagus. Dominasi visual kian mengental. Kalimat yang tertera bukan berarti diabaikan melainkan untuk membuat seseorang terpancing caranya ya diperkuat gambarnya atau warnanya. Sepakat saya dengan definisi wikipedia di atas.

2008/11/21

Karya Digital Art

Looking A Round 2009

Search This