2007/09/09

SG.Sn


(I believe I can't fly, 2006 obyek art)
SG.Sn merupakan sebuah konsep pameran yang berlangsung di Galeri Surabaya Pada tanggal 6 Juni 2006. SG.Sn adalah kepanjangan dari Sarjana Guru Seni, dimana peserta pamerannya kebanyakan satu angkatan (99)mereka semua berasal dari institusi pendidikan jurusan Seni Rupa UNESA (Universitas Negeri Surabaya).


(Dengan semangat KORPRI kita tingkatkan mutu guru Indonesia, 2006 Neon Box)
Ditinjau dari bahasa SG.Sn memang teridentifikasi kearah Guru namun konsep tadi merupakan ide dasar bahwa mereka selain sebagai pengajar seni rupa, mereka juga harus berkarya dengan berbagai variasi karya seni rupa sesuai dengan spesifikasi. namun yang harus digaris bawahi karya mereka tidak kalah dengan karya para seniman yang aktif didunia seni rupa. Karya-karya mereka terdiri dari karya instalasi, patung, dan lukisan. Yustina, Woro, Ngadiono, Sifin, Novita, Sandy dan Edi merupakan aktifis dari kelompok SG.Sn angkatan 99.


(ayo sekolah, 2006 obyek art)

Ditunggu, Seniman yang Guru…

Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam pengantar pameran kelompok SG. Sn.


Pelukis pameran lukisan tentu biasa, pematung pameran patung juga biasa. Tetapi kalau para guru pameran seni rupa apa juga biasa? Jawabanya bisa ya bisa pula tidak. Kalau guru yang berpamerang adalah guru kimia atau guru matematika, mungkin ini suatu yang luar biasa, apalagi jika karyanya memang luar biasa. Tetapi jika yang pameran adalah guru atau dosen seni rupa, tentu hal yang biasa. Malah mestinya menjadi suatu keharusan.
Memang harus diakui masih terlalu sedikit (untuk tidak mengatakan tidak ada) guru seni rupa yang seka.ligus seniman, dan dengan sendirinya rajin pameran, bahkan (mudah-mudahan saya salah) sangat banyak yang tidak pernah lagi berkarya seni rupa. alasanya sangat beragam dan bisa ada yang naif dan tidak masuk akal.
Guru seni rupa, tentu saja yang berasal dari perguruan tinggi seni rupa, baik dari keguruan maupun (apalagi) dari perguruan tinggi murni, tentu telah memperoleh bekal yang sangat kuat dibidang kesenian, baik disegi ketrampilan maupun mental atau semangat berkesenian. Tetapi mengapa setelah menjadi guru justru ketrampilan yang menjadi kekuatannya ditinggalkan, dan semangat berkesenian yang dulu berkobar-kobar kini padam?
Guru seni rupa atau guru kesenian pada umumnya mestinya adalah seniman yang guru atau guru yang seniman. Sebab dengan begitu ia akan lebih terpercaya, dan kewibawaanya sebagai guru seni akan tampil dengan sendirinya. Begitu pula secara metodeologis mestinya ia akan bisa lebih mengenal berbagai persoalan kesenian baik pada wilayah kreasi maupun apresiasi. Guru mestinya seperti apa yang dikatakan Ki Hadjar Dewantara: “Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”.
Ketika kali ini beberapa orang guru seni rupa angkatan 99 dengan nama “kelompok SG. Sn (Sarjana guru seni)” yang terdiri dari Ahmad Ngadiono, Edi Fals, Ferri Pejah, Nunung, Novita Sechan, Sandy, Sifin Ghani, Woro dan Yustina, yang sengaja berkeinginan menunjukkan eksistensi dari seorang guru yang memiliki tanggung jawab dan berkewajiban penuh untuk selalu berkarya, yang kali ini mengadakan pameran seni rupa dengan tema Isuk Budal Sore Muleh, sesungguhnya mereka telah membuktikan bahwa setidaknya mereka masih berkarya, dan karyanya disajikan disalah satu pusat kegiatan berkesenian di Surabaya, artinya karya-karya mereka tentu tidak memalukan.
Tentu saja kegiatan semacam ini, dalam arti pameran seni rupa oleh guru-guru seni rupa, patut dihargai dan wajib dilakukan terus menerus, sambil menularkan virus berkesenian pada guru seni rupa yang lain hingga kelompok ini bertambah jumlah anggotanya, atau bahkan muncul kelompok-kelompok lain lalu bersaing pameran, bersaing kasaktian, saling hebat-hebatan. Lalu muncul tokoh-tokoh seniman yang guru atau guru yang seniman.

Selamat pameran, dan lalu pameran terus. Dan sukses

Salamun Kaulam
Pelukis, dosen seni rupa UNESA

Tidak ada komentar:

Search This